Inilah Kisah Ramadan di Kalangan
Selebriti Berbeda Agama
Tribun Manado - Minggu, 29 Juli 2012
13:31 WITA
TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - Bersantap sahur dan berbuka bersama pasangan hidup
tercinta tentu jadi momentum terindah Ramadan tiap pasangan suami istri.
Tapi bagaimana dengan Ramadan di kalangan selebriti berbeda agama? Ira Wibowo, seperti dilansir kompas.com, mengaku bahagia atas toleransi yang ditunjukkan oleh suaminya dengan menghargai dirinya menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Sebisa mungkin Katon menemaninya berbuka puasa.
"Namun Katon tak biasa menemaninya sahur. Saya tidak berani membangunkannya, karena dia tidur lelap banget," tutur Ira Wibowo, artis kelahiran Berlin, Jerman, 43 tahun silam ini.
Selain itu Katon juga mengurangi jadwal makannya. Ira pun bertoleransi dengan tidak memasalahkan dirinya berpuasa sendirian pada setiap bulan Ramadhan.
"Suami jelas nggak puasa dan anak-anak saya belum mampu berpuasa karena masih kecil. Tapi nggak masalah, yang penting niat," tutur artis tenar era 1990-an itu.
Ia pun tetap meladeni suami dan ketiga anak mereka dengan tetap memasak di rumah menemani pembantunya.
Toleransi ini juga diperagakan pasangan Lydia Kandou-Jamal Mirdad. Lydia tetap setia memasak santap sahur dan buka puasa untuk sang suami kendati Lydia tak berpuasa.
Ketiga anak-anak Lydia juga sering ikut puasa menemani ayahnya. Tak heran jika rumah keluarga Jamal biasa ramai pada jam buka dan sahur.
Sementara, Christian Sugiono sering mengingatkan Titi Kamal untuk berbuka puasa. "Ya kalau Ramadhan nggak bisa jalan di siang hari untuk makan bersama atau nonton. Titi `kan puasa," tuturnya.
Berikut ini pasangan selebriti berbeda keyakinan:
1. Rio Febrian dan Sabria Kono
Setelah hampir tiga tahun pacaran, akhirnya Rio Febrian yang beragama Kristen resmi menikahi kekasihnya Sabria Kono yang beragama Islam dengan mas kawin sebuah cincin pada tanggal 3 Februari 2010.
2. Andre Hehanusa dan Cut Rizki Theo
Andre Ronald Benito Hehanussa atau Andre Hehanusa adalah musisi yang beragama Kristen. Ia menikah dengan perempuan berdarah Aceh bernama Cut Rizki Teo (kakak Cut Mini) pada tanggal 8 Agustus 1995. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai anak laki-laki, Putra Pertama Hehanussa.
3. Anton Wahyu Jatmiko dan Diah Permatasari
Diah, model dan artis yang beragama Islam ini adalah istri dari Anton Wahyu Jatmiko yang beragama Katolik. Mereka menikah pada 5 April 1997 dan dikaruniai seorang putra, Marcello Renara Djatmiko dan Marciano Nicholas Reynard.
4. Prakaca Kasmir dan Melly Manuhutu
Melly Manuhutu, penyanyi berdarah Ambon ini menikah dengan Prakaca Kasmir pada tanggal 15 September 2001.
Pernikahan beda agama ini dilangsungkan di dua tempat, Gereja Tongkonan Toraya, Kelapa Gading, Jakarta Utara dan Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Pernikahan mereka telah dikaruniai 2 orang anak, Kacamelyv Prakaca dan Qalycea Prakaca.
5. Sebastian Paredes dan Shanty
Penyanyi Shanty menyandang status istri Sebastian Paredes sejak 24 Juli 2010. Pernikahan pasangan yang berbeda agama ini dipimpin oleh konsulat negeri asal Paredes, Ekuador, untuk Indonesia, Carlos Eduardo Calderon. Dan pada 24 Februari 2011, pasangan ini dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Arjuna Lucio Paredes.
6. Titi Kamal - Christian Sugiono
Titi Kamal tetap berpuasa meski saat santap sahur dan berbuka tidak selalu ditemani sang suami, Christian Sugiono, yang non muslim.
7. Nurul Arifin - Mayong Suryolaksono
Pernikahan beda agama antara Nurul Arifin - Mayongsuryolaksono sempat menjadi bahan kajian studi Islam. Boleh tidaknya pernikahan beda agama dalam Islam sering menjadikan pasangan ini sebagai contoh kajian karena kapasitasnya mereka sebagai public figure.
Tapi bagaimana dengan Ramadan di kalangan selebriti berbeda agama? Ira Wibowo, seperti dilansir kompas.com, mengaku bahagia atas toleransi yang ditunjukkan oleh suaminya dengan menghargai dirinya menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Sebisa mungkin Katon menemaninya berbuka puasa.
"Namun Katon tak biasa menemaninya sahur. Saya tidak berani membangunkannya, karena dia tidur lelap banget," tutur Ira Wibowo, artis kelahiran Berlin, Jerman, 43 tahun silam ini.
Selain itu Katon juga mengurangi jadwal makannya. Ira pun bertoleransi dengan tidak memasalahkan dirinya berpuasa sendirian pada setiap bulan Ramadhan.
"Suami jelas nggak puasa dan anak-anak saya belum mampu berpuasa karena masih kecil. Tapi nggak masalah, yang penting niat," tutur artis tenar era 1990-an itu.
Ia pun tetap meladeni suami dan ketiga anak mereka dengan tetap memasak di rumah menemani pembantunya.
Toleransi ini juga diperagakan pasangan Lydia Kandou-Jamal Mirdad. Lydia tetap setia memasak santap sahur dan buka puasa untuk sang suami kendati Lydia tak berpuasa.
Ketiga anak-anak Lydia juga sering ikut puasa menemani ayahnya. Tak heran jika rumah keluarga Jamal biasa ramai pada jam buka dan sahur.
Sementara, Christian Sugiono sering mengingatkan Titi Kamal untuk berbuka puasa. "Ya kalau Ramadhan nggak bisa jalan di siang hari untuk makan bersama atau nonton. Titi `kan puasa," tuturnya.
Berikut ini pasangan selebriti berbeda keyakinan:
1. Rio Febrian dan Sabria Kono
Setelah hampir tiga tahun pacaran, akhirnya Rio Febrian yang beragama Kristen resmi menikahi kekasihnya Sabria Kono yang beragama Islam dengan mas kawin sebuah cincin pada tanggal 3 Februari 2010.
2. Andre Hehanusa dan Cut Rizki Theo
Andre Ronald Benito Hehanussa atau Andre Hehanusa adalah musisi yang beragama Kristen. Ia menikah dengan perempuan berdarah Aceh bernama Cut Rizki Teo (kakak Cut Mini) pada tanggal 8 Agustus 1995. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai anak laki-laki, Putra Pertama Hehanussa.
3. Anton Wahyu Jatmiko dan Diah Permatasari
Diah, model dan artis yang beragama Islam ini adalah istri dari Anton Wahyu Jatmiko yang beragama Katolik. Mereka menikah pada 5 April 1997 dan dikaruniai seorang putra, Marcello Renara Djatmiko dan Marciano Nicholas Reynard.
4. Prakaca Kasmir dan Melly Manuhutu
Melly Manuhutu, penyanyi berdarah Ambon ini menikah dengan Prakaca Kasmir pada tanggal 15 September 2001.
Pernikahan beda agama ini dilangsungkan di dua tempat, Gereja Tongkonan Toraya, Kelapa Gading, Jakarta Utara dan Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Pernikahan mereka telah dikaruniai 2 orang anak, Kacamelyv Prakaca dan Qalycea Prakaca.
5. Sebastian Paredes dan Shanty
Penyanyi Shanty menyandang status istri Sebastian Paredes sejak 24 Juli 2010. Pernikahan pasangan yang berbeda agama ini dipimpin oleh konsulat negeri asal Paredes, Ekuador, untuk Indonesia, Carlos Eduardo Calderon. Dan pada 24 Februari 2011, pasangan ini dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Arjuna Lucio Paredes.
6. Titi Kamal - Christian Sugiono
Titi Kamal tetap berpuasa meski saat santap sahur dan berbuka tidak selalu ditemani sang suami, Christian Sugiono, yang non muslim.
7. Nurul Arifin - Mayong Suryolaksono
Pernikahan beda agama antara Nurul Arifin - Mayongsuryolaksono sempat menjadi bahan kajian studi Islam. Boleh tidaknya pernikahan beda agama dalam Islam sering menjadikan pasangan ini sebagai contoh kajian karena kapasitasnya mereka sebagai public figure.
PEMBAHASAN
A. Perkawinan Beda Agama Menurut
Hukum Positif Indonesia
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa dasar hukum
perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ada beberapa peraturan
,diantaranya adalah:
1. Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata
2. UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
3. UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama
4. PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No.1/1974
5. Intruksi Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia
Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar
pemeluk agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan
bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita yang tidak beragama Islam. Kemudian dalam pasal 44 dinyatakan bahwa seorang
wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak
beragama Islam. KHI tersebut selaras dengan pendapat Prof. Dr. Hazairin S.H.,
yang menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam
tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya.
Dalam KHI telah dinyatakan dengan jelas bahwa perkawinan
beda agama jelas tidak dapat dilaksanakan selain kedua calon suami isteri
beragama Islam. Sehingga tidak ada peluang bagi orang-orang yang memeluk agama
Islam untuk melaksanakan perkawinan antar agama.
Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia,
perkawinan antar agama dapat terjadi. Hal ini disebabkan peraturan
perundang-undangan tentang perkawinan memberikan peluang tersebut terjadi,
karena dalam peraturan tersebut dapat memberikan beberapa penafsiran bila
terjadi perkawinan antar agama.
Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal 66, maka semua peraturan
yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1/1974,
dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan
peraturan perkawinan campuran. Secara a contrario, dapat diartikan bahwa
beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No.
1/1974.
Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan
calon suami isteri dapat dilihat dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan pada
pasal 2 ayat 1, bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada pasal 10 PP No.9/1975
dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat
dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum
masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.
Dalam memahami perkawinan beda agama menurut undang-undang
Perkawinan ada tiga penafsiaran yang berbeda. Pertama, penafsiran yang
berpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No.
1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f. Pendapat kedua, bahwa perkawinan antar
agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam
perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan
campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua
orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama.
Pendapat ketiga bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU
No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan
perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena
belum diatur dalam undang-undang perkawinan.
B. Perbedaan Pandangan Tentang
Perkawinan Beda Agama
Pendapat yang menyatakan perkawinan beda agama merupakan
pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f, maka instansi
baik KUA dan Kantor Catatan Sipil dapat menolak permohonan perkawinan beda
agama berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f UU No. 1/1974 yang
menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, jika dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan UU ditegaskan
bahwa dengan perumusan pasal 2 ayat 1, maka tidak ada perkawinan di luar hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan pasal tersebut berarti
bahwa perkawinan harus dilakukan menurut hukum agamanya, dan ketentuan yang
dilarang oleh agama berarti dilarang juga oleh undang-undang perkawinan.
Selaras dengan itu, Prof. Dr. Hazairin S.H., menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta
penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan
melanggar hukum agamanya., demikian juga bagi mereka yang beragama Kristen,
Hindu, Budha.
Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama adalah
sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran,
dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang
menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang
berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama.
Pada pasal 1 Peraturan Perkawinan campuran menyatakan bahwa
perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan. Akibat kurang jelasnya perumusan pasal
tersebut, yaitu tunduk pada hukum yang berlainan, ada beberapa penafsiran
dikalangan ahli hukum.
Pendapat pertama menyatakan bahwa perkawinan campuran hanya
terjadi antara orang-orang yang tunduk pada hukum yang berlainan karena berbeda
golongan penduduknya. Pendapat kedua menyatakan bahwa perkawinan campuran
adalah perkawinan antara orang-orang yang berlainan agamanya. Pendapat ketiga
bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang berlainan
asal daerahnya.
Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama sama
sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66
UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan
perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan.
Berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974, maka semua peraturan yang mengatur tentang
perkawinan sepanjang telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku
lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW,
Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran.
Artinya beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam
UU No. 1/1974.
C. Pendapat Hukum Terhadap
Perkawinan Beda Agama
Merujuk pada Undang-undang No. 1/1974 pada pasal 57 yang
menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan
dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Berdasarkan pada pasal 57 UU No. 1/1974, maka perkawinan
beda agama di Indonesia bukanlah merupakan perkawinan campuran. Sehingga
semestinya pengajuan permohonan perkawinan beda agama baik di KUA dan Kantor
Catatan Sipil dapat ditolak.
Menurut Purwoto S. Gandasubrata bahwa perkawinan campuran
atau perkawinan beda agama belum diatur dalam undang-undang secara tuntas dan
tegas. Oleh karenanya, ada Kantor Catatan Sipil yang tidak mau mencatatkan
perkawinan beda agama dengan alasan perkawinan tersebut bertentangan dengan
pasal 2 UU No.1/1974. Dan ada pula Kantor Catatan Sipil yang mau mencatatkan
berdasarkan GHR, bahwa perkawinan dilakukan menurut hukum suami, sehingga
isteri mengikuti status hukum suami.
Ketidakjelasan dan ketidaktegasan Undang-undang Perkawinan
tentang perkawinan antar agama dalam pasal 2 adalah pernyataan “menurut hukum
masing-masing agama atau kepercayaannya”. Artinya jika perkawinan kedua calon
suami-isteri adalah sama, tidak ada kesulitan. Tapi jika hukum agama atau
kepercayaannya berbeda, maka dalam hal adanya perbedaan kedua hukum agama atau
kepercayaan itu harus dipenuhi semua, berarti satu kali menurut hukum agama
atau kepercayaan calon dan satu kali lagi menurut hukum agama atau kepercayaan
dari calon yang lainnya.
Dalam praktek perkawinan antar agama dapat dilaksanakan
dengan menganut salah satu cara baik dari hukum agama atau kepercayaan si suami
atau si calon isteri. Artinya salah calon yang lain mengikuti atau menundukkan
diri kepada salah satu hukum agama atau kepercayaan pasangannya.
Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974
tidak secara tegas mengatur tentang perkawinan antar agama. Mahkamah Agung
sudah pernah memberikan putusan tentang perkawinan antar agama pada tanggal 20 Januari
1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986.
Dalam pertimbangan MA adalah dalam UU No. 1/1974 tidak
memuat suatu ketentuan tentang perbedaan agama antara calon suami dan calon
isteri merupakan larangan perkawinan. Dan hal ini sejalan dengan UUD 1945 pasal
27 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum, tercakup di dalamnya kesamaan hak asasi untuk kawin dengan sesama warga
negara sekalipun berlainan agama dan selama oleh undang-undang tidak ditentukan
bahwa perbedaan agama merupakan larangan untuk perkawinan, maka asas itu adalah
sejalan dengan jiwa pasal 29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh negara
kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk memeluk agama masing-masing.
Dengan tidak diaturnya perkawinan antar agama di UU No.
1/1974 dan dalam GHR dan HOCI tidak dapat dipakai karena terdapat perbedaan
prinsip maupun falsafah yang sangat lebar antara UU No. 1/1974 dengan kedua
ordonansi tersebut. Sehingga dalam perkawinan antar agama terjadi kekosongan
hukum.
Di samping kekosongan hukum juga dalam kenyataan hidup di
Indonesia yang masyarakatnya bersifat pluralistik, sehingga tidak sedikit
terjadi perkawinan antar agama. Maka MA berpendat bahwa tidak dapat dibenarkan
terjadinya kekosongan hukum tersebut, sehingga perkawinan antar agama jika
dibiarkan dan tidak diberiakan solusi secara hukum, akan menimbulkan dampak
negatif dari segi kehidupan bermasyarakat maupun beragama berupa
penyelundupan-penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama serta hukum
positif, maka MA harus dapat menentukan status hukumnya.
Mahkamah Agung dalam memberikan solusi hukum bagi perkawinan
antar agama adalah bahwa perkawinan antar agama dapat diterima permohonannya di
Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk
melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteri tidak beragama Islam
untuk wajib menerima permohonan perkawinan antar agama.
Dari putusan MA tentang perkawinan antar agama sangat
kontroversi, namun putusan tersebut merupakan pemecahan hukum untuk mengisi
kekosongan hukum karena tidak secara tegas dinyatakan dalam UU No. 1/1974.
Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 dapat
dijadikan sebagai yurisprudensi, sehingga dalam menyelesaikan perkara
perkawinan antar agama dapat menggunakan putusan tersebut sebagai salah satu
dari sumber-sumber hukum yang berlaku di Indonesia.
Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan untuk
melangsungkan perkawinan antar agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan
Sipil. Dan bagi orang Islam ditafsirkan atas dirinya sebagai salah satu
pasangan tersebut berkehendak untuk melangsungkan perkawinan tidak secara
Islam. Dan dengan demikian pula ditafsirkan bahwa dengan mengajukan permohonan
tersebut pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya. Sehingga pasal
8 point f UU No. 1/1974 tidak lagi merupakan halangan untuk dilangsungkan
perkawinan, dengan anggapan bahwa kedua calon suami isteri tidak lagi beragama
Islam. Dengan demikian Kantor Catatan Sipil berkewajiban untuk menerima
permohonan tersebut bukan karena kedua calon pasangan dalam kapasitas sebagai
mereka yang berbeda agama, tetapi dalam status hukum agama atau kepercayaan
salah satu calon pasangannya.
Bentuk lain untuk melakukan perkawinan antar agama dapat
dilakukan dengan cara melakukan perkawinan bagi pasangan yang berbeda agama
tersebut di luar negeri. Berdasarkan pada pasal 56 UU No. 1/1974 yang mengatur
perkawinan di luar negeri, dapat dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia,
dan perkawinan antar pasangan yang berbeda agama tersebut adalah sah bila
dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu
berlangsung.
Setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia,
paling tidak dalam jangka waktu satu tahun surat bukti perkawinan dapat
didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka. Artinya
perkawinan antar agama yang dilakukan oleh pasangan suami isteri yang berbeda
agama tersebut adalah sah karena dapat diberikan akta perkawinan.
Kesimpulan
Dari uraian tersebut diatas, dengan ini penulis kemukakan
beberapa hal sebagai kesimpulan, sebagai berikut :
1. Undang-Undang No.1/1974 tentang Ketentuan Pokok
Perkawinan, tidak mengatur tentang perkawinan beda agama. Oleh karena itu
perkawinan antar agama tidak dapat dilakukan berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 UU
No.1/1974, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dan pada pasal 10 PP No.9/1975
dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat
dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum
masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.
2. Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974
tidak secara tegas mengatur tentang perkawinan antar agama, Mahkamah Agung
dalam yurisprudensinya tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986,
memberikan solusi hukum bagi perkawinan antar agama adalah bahwa perkawinan
antar agama dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai
satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua
calon suami isteri tidak beragama Islam untuk wajib menerima permohonan
perkawinan antar agama.
3. Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan untuk
melangsungkan perkawinan antar agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan
Sipil. Dan bagi orang Islam ditafsirkan atas dirinya sebagai salah satu
pasangan tersebut berkehendak untuk melangsungkan perkawinan tidak secara
Islam. Dan dengan demikian pula ditafsirkan bahwa dengan mengajukan permohonan
tersebut pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya. Sehingga pasal
8 point f UU No. 1/1974 tidak lagi merupakan halangan untuk dilangsungkan
perkawian, dengan anggapan bahwa kedua calon suami isteri tidak lagi beragama
Islam. Dengan demikian Kantor Catatan Sipil berkewajiban untuk menerima
permohonan tersebut bukan karena kedua calon pasangan dalam kapasitas sebagai
mereka yang berbeda agama, tetapi dalam status hukum agama atau kepercayaan
salah satu calon pasangannya.
4. Perkawinan antar agama dapat juga dilakukan oleh sesama
warga negara Indonesia yang berbeda agama dengan cara melakukan perkawinan
tersebut di luar negeri.
Saran
a. Perlu rumusan ulang atau revisi tentang perkawinan antar
agama, karena dalam UU No. 1/1974 Tentang Hukum Perkawinan belum jelas dan
tuntas dalam mengatur perkawinan antar agama.
b. Dalam revisi terhadap Undang-undang Perkawinan perlu
kejelasan tentang status hukum bagi mereka
Bahwa dengan ketidak tegasan pemerintah dalam mengatur
perkawinan beda agama sebagaimana tidak adanya aturan tersebut pada UU
No.1/1974, maka bersama ini kami sarankan bahwa : Kesimpulan Perkawinan hanya
sah jika dilakukan menurut hukum agama yang dianut oleh calon pasangan yang
akan melaksanakan pernikahan. Kedua pasangan suami isteri tersebut menganut
agama yang sama.
Jika antara keduanya menganut agama yang berlainan, maka
perkawinan tidak dapat dilangsungkan, kecuali apabila salah satunya menganut
agama calon lainnya tersebut.Menurut pasal 83 KUHPerdata, perkawinan yang
dilangsungkan di luar Indonesia, baik antara warga negara Indonesia dan dengan
warga negara lain adalah sah, jika perkawinan dilangsungkan menurut cara atau
aturan negara tersebut dan tidak melanggar ketentuan-ketentuan dalam
KUHPerdata. Kemudian dalam waktu satu tahun setelah suami-isteri tersebut
kembali di wilayah Indonesia, maka perkawinan harus dicatatkan dalam daftar
pencatatan perkawinan di tempat tinggal mereka (pasal 84 KUHPerdata).