kasus hukum perdata
|
Pernikahan Beda Agama di Indonesia
|
Tugas
ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Bisnis
|
|
Azwani Aulia
|
1151243
|
Hukum perdata ialah aturan-aturan hukum
yang mengatur tingkah laku setiap orang terhadap orang lain yang berkaitan
dengan hak dan kewajiban yang timbul dalam pergaulan masyarakat maupun
pergaulan keluarga. Hukum perdata dibedakan menjadi dua, yaitu hukum perdata
material dan hukum perdata formal. Hukum perdata material mengatur
kepentingan-kepentingan perdata setiap subjek hukum. Hukum perdata formal
mengatur bagaimana cara seseorang mempertahankan haknya apabila dilanggar
oleh orang lain.
|
Daftar Isi
Bab 1 Pendahuluan1
Bab 2 Tinjauan Pustaka2
Dasar hukum
perkawinan di Indonesia2
A. Pengertian
Perkawinan2
B. Hakikat, Asas, Syarat, Tujuan
Perkawinan3
C. Perkawinan Campuran 5
D. Perkawinan di Luar Negeri5
E. Perkawinan Menurut
Hukum Agama5
Bab 3 Pembahasan5
A. Perkawinan Beda Agama Menurut
Hukum Positif Indonesia5
B. Perbedaan Pandangan Tentang
Perkawinan Beda Agama7
C. Pendapat Hukum Terhadap
Perkawinan Beda Agama8
Bab 4 Penutup11
A.
Kesimpulan11
B.
Saran12
Pernikahan Beda Agama Di Indonesia
I. PENDAHULUAN
Perkawinan merupakan suatu ikatan
yang sangat dalam dan kuat sebagai penghubung antara seorang pria dengan
seorang wanita dalam membentuk suatu keluarga atau rumah tangga.
Dalam membentuk suatu keluarga tentunya
memerlukan suatu komitmen yang kuat diantara pasangan tersebut. Sehingga dalam
hal ini Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1 menyatakan
bahwa suatu perkawinan dapat dinyatakan sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaan pasangan yang melakukan pernikahan.
Landasan hukum agama dalam
melaksanakan sebuah perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam UU No. 1
Tahun 1974, sehingga penentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung pada
ketentuan agama. Hal ini berarti juga bahwa hukum agama menyatakan perkawinan
tidak boleh, maka tidak boleh pula menurut hukum negara. Jadi dalam perkawinan
berbeda agama yang menjadi boleh tidaknya tergantung pada ketentuan agama.
Perkawinan beda agama bagi
masing-masing pihak menyangkut akidah dan hukum yang sangat penting bagi
seseorang. Hal ini berarti menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang
berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai
dengan hukum agamanya masing-masing.
Kenyataan dalam kehidupan
masyarakat bahwa perkawinan berbeda agama itu terjadi sebagai realitas yang
tidak dipungkiri. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku secara
positif di Indonesia, telah jelas dan tegas menyatakan bahwa sebenarnya
perkawinan antar agama tidak diinginkan, karena bertentangan dengan hukum yang
berlaku di Indonesia. Tetapi ternyata perkawinan antar agama masih saja terjadi
dan akan terus terjadi sebagai akibat interaksi sosial diantara seluruh warga
negara Indonesia yang pluralis agamanya. Banyak kasus-kasus yang terjadi
didalam masyarakat, seperti perkawinan antara artis Jamal Mirdad dengan Lydia
Kandau, Katon Bagaskara dengan Ira Wibowo, Yuni Shara dengan Henri Siahaan, Adi
Subono dengan Chrisye, Ari Sihasale dengan Nia Zulkarnaen, Dedi Kobusher dengan
Kalina, Frans dengan Amara, Sonny Lauwany dengan Cornelia Agatha, dan masih
banyak lagi.
Perkawinan antar agama yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat, seharusnya tidak terjadi jika dalam hal ini
negara atau pemerintah secara tegas melarangnya dan menghilangkan sikap mendua
dalam mengatur dan melaksanakan suatu perkawinan bagi rakyatnya. Sikap
ambivalensi pemerintah dalam perkawinan beda agama ini terlihat dalam praktek
bila tidak dapat diterima oleh Kantor Urusan Agama, dapat dilakukan di Kantor
Catatan Sipil dan menganggap sah perkawinan berbeda agama yang dilakukan diluar
negeri.
Dari kenyataan yang terjadi di
dalam masyarakat terhadap perkawinan berbeda agama, menurut aturan
perundang-undangan itu sebenarnya tidak dikehendaki. Berangkat dari
permasalahan tersebut, maka penulis mencoba memberikan pendapat tentang
Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum Positif Indonesia.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Dengan diberlakukannya UU No. 1
Tahun 1974 berarti undang-undang ini merupakan Undang-undang Perkawinan
Nasional karena menampung prinsip-prinsip perkawinan yang sudah ada sebelumnya
dan diberlakukan bagi seluruh warga negara Indonesia.
Dalam pasal 66 UU No 1 Tahun 1974
dinyatakan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang diatur
dalam KUHPerdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan
perkawinan campuran, dinyatakan tidak berlaku sepanjang telah diatur dalam
Undang-Undang Perkawinan Nasional ini.
Dengan demikian dasar hukum
perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ini antara lain adalah :
a. Buku I KUH Perdata
b. UU No. 1/1974 tentang
Perkawinan
c. UU No. 7/1989 tentang
Peradilan Agama
d. PP No. 9/1975 tentang
Pelaksanaan UU No. 1/1974
e. Instruksi Presiden Np. !/1991
tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
A. Pengertian Perkawinan Menurut
pasal 1 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
Yang dimaksud perkawinan ialah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan di dalam ketentuan
pasal-pasal KUHPerdata, tidak memberikan pengertian perkawinan itu. Oleh karena itu untuk memahami arti
perkawinan dapat dilihat pada ilmu pengetahuan atau pendapat para sarjana. Ali Afandi
mengatakan bahwa “perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan”. Dan
menurut Scholten perkawinan adalah ”hubungan hukum antara seorang pria dengan
seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara”.
Jadi Kitab Undang-undang Hukum
Perdata memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata. Hal
ini berarti bahwa undang-undang hanya mengakui perkawinan perdata sebagai
perkawinan yang sah, berarti perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sedang syarat-syarat serta
peraturan agama tidak diperhatikan atau di kesampingkan. Menurut Kompilasi
Hukum Islam pasal 2 bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan,
yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhzan untuk mentaati perintah
Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Jadi perkawinan adalah suatu
ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk
membentuk suatu keluarga yang kekal. Sedangkan yang dimaksud dengan Hukum
Perkawinan adalah hukum yang mengatur mengenai syarat-syarat dan caranya
melangsungkan perkawinan, beserta akibat-akibat hukum bagi pihak-pihak yang
melangsungkan perkawinan tersebut.
B. Hakikat, Asas, Syarat, Tujuan
Perkawinan Menurut Peraturan Perundang-Undangan
Hakiakat
Perkawinan
Menurut UU No. 1/1974 pasal 1,
hakikat perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri. Jadi hakikat perkawinan bukan sekedar ikatan
formal belaka, tetapi juga ikatan batin antara pasangan yang sudah resmi
sebagai suami dan isteri.
Dalam KHI pasal 2 hakikat
perkawinan adalah untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya merupakan
ibadah. Sedangkan menurut KUHPerdata hakikat perkawinan adalah merupakan
hubungan hukum antara subyek-subyek yang mengikatkan diri dalam perkawinan.
Hubungan tersebut didasarkan pada persetujuan di antara mereka dan dengan
adanya persetujuan tersebut mereka menjadi terikat.
Asas
Perkawinan
Menurut UU No. 1/1974 pasal 3
adalah asas monogami relatif, artinya boleh sepanjang hukum dan agamanya
mengizinkan. Asas tersebut sejalan dengan apa yang dimaksud dengan KHI.
Sedangkan KUHPerdata menganut asas monogami mutlak karena ini berdasarkan
kepada doktrin Kristen (Gereja).
Syarat
Sahnya Perkawinan
Menurut pasal 2 UU No. 1/1974
bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama
dan kepercayaannya. Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sejalan dengan KHI, dalam pasal 4 KHI
bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum Islam. Dan dalam
pasal 5 KHI bahwa setiap perkawinan harus dicatat agar terjamin ketertiban
perkawinan. Kemudian dalam pasal 6 KHI bahwa perkawinan yang dilakukan di luar
pengawasan pegawai pencatatan nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pada pasal 6 s/d 12 UU No. 1/1974
syarat-syarat perkawinan, yaitu adanya persetujuan kedua calon mempelai, ada
izin orang tua atau wali bagi calon yang belum berusia 21 tahun, usia calon
pria berumur 19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun, tidak ada hubungan darah
yang tidak boleh kawin, tidak ada ikatan perkawinan dengan pihak lain, tidak
ada larangan kawin menurut agama dan kepercayaannya untuk ketiga kalinya, tidak
dalam waktu tunggu bagi wanita yang janda.
Sedangkan syarat perkawinan
menurut KUHPerdata adalah syarat material absolut yaitu asas monogami,
persetujuan kedua calon mempelai, usia pria 18 tahun dan wanita 15 tahun, bagi
wanita yang pernah kawin harus 300 hari setelah perkawinan yang terdahulu
dibubarkan. Sedang syarat material relatif, yaitu larangan untuk kawin dengan
orang yang sangat dekat di dalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan,
larangan untuk kawin dengan orang yang pernah melakukan zina, larangan
memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian jika belum lewat waktu 1
tahun.
Menurut pasal 14 KHI dalam
melaksanakan perkawinan harus ada calon suami dan isteri, wali nikah, dua orang
saksi serta sighat akad nikah.
Tujuan
Perkawinan
Dalam pasal 1 UU No. 1/1974
adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Sedangkan dalam KUHPerdata tidak ada satu pasalpun yang secara
jelas-jelas mencantumkan mengenai tujuan perkawinan itu. Dalam pasal 3
Kompilasi Hukum Islam tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan
berumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Sedangkan Kitab Undang-undang
Hukum Perdata memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.
C. Perkawinan Campuran
Dalam pasal 57 UU No. 1/1974
perkawinan campuran adalah antara dua orang di Indonesia yang tunduk pada hukum
yang berlainan, karena beda warga negara dan salah satu warga negaranya adalah
warga negara Indonesia.
Jadi unsur-unsur yang terdapat
dalan perkawinan campur adalah perkawinan dilakukan di wilayah hukum Indonesia
dan masing-masing tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaaan
kewarganegaraan, yang salah satu pihak harus warga negara Indonesia.
Dan syarat-syarat perkawinan
campuran pada pasal pasal 59 ayat 2 UU No. 1/1974, dari pasal ini menunjukan
prinsip Lex loci actus yaitu menunjuk dimana perbuatan hukum tersebut
dilangsungkan. Hal ini berarti perkawinan campuran di Indonesia dilakukan
menurut hukum perkawinan Indonesia.
D. Perkawinan di Luar Negeri
Pada pasal 56 UU No. 1/1974
mengatur perkawinan di luar negeri, baik yang dilakukan oleh sesama warga
negara Indonesia di luar negeri atau salah satu pihaknya adalah warga negara
Indonesia sedang yang lain adalah warga negara asing, adalah sah bila dilakukan
menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu berlangsung dan
bagi warga negara Indonesia tidak melanggar UU ini.
Pasal 56 ayat 2 menentukan bahwa
dalam waktu satu tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia,
surat bukti perkawinan harus didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat
tinggal mereka.
E. Perkawinan Menurut Hukum Agama
III. PEMBAHASAN
A. Perkawinan Beda Agama Menurut
Hukum Positif Indonesia
Sebagaimana telah disebutkan
diatas bahwa dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ada beberapa
peraturan ,diantaranya adalah:
1. Buku I Kitab Undang-undang
Hukum Perdata
2. UU No. 1/1974 tentang
Perkawinan
3. UU No. 7/1989 tentang
Peradilan Agama
4. PP No. 9/1975 tentang
Peraturan Pelaksana UU No.1/1974
5. Intruksi Presiden No. 1/1991
tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Dalam Kompilasi Hukum Islam
mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama dalam bab larangan perkawinan.
Pada pasal 40 point c dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara
seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Kemudian dalam
pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan
perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. KHI tersebut selaras
dengan pendapat Prof. Dr. Hazairin S.H., yang menafsirkan pasal 2 ayat 1
beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah
dengan melanggar hukum agamanya.
Dalam KHI telah dinyatakan dengan
jelas bahwa perkawinan beda agama jelas tidak dapat dilaksanakan selain kedua
calon suami isteri beragama Islam. Sehingga tidak ada peluang bagi orang-orang
yang memeluk agama Islam untuk melaksanakan perkawinan antar agama.
Kenyataan yang terjadi dalam
sistem hukum Indonesia, perkawinan antar agama dapat terjadi. Hal ini
disebabkan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan memberikan peluang
tersebut terjadi, karena dalam peraturan tersebut dapat memberikan beberapa
penafsiran bila terjadi perkawinan antar agama.
Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal
66, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur
dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia
Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Secara a contrario, dapat diartikan
bahwa beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU
No. 1/1974.
Mengenai perkawinan beda agama
yang dilakukan oleh pasangan calon suami isteri dapat dilihat dalam UU
No.1/1974 tentang perkawinan pada pasal 2 ayat 1, bahwa Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada
pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan
dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan
dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.
Dalam memahami perkawinan beda
agama menurut undang-undang Perkawinan ada tiga penafsiaran yang berbeda.
Pertama, penafsiran yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan
pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f. Pendapat kedua,
bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah
tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang
perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan
antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang
berbeda agama. Pendapat ketiga bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak
diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974
maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan
campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan.
B. Perbedaan Pandangan Tentang
Perkawinan Beda Agama
Pendapat yang menyatakan
perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat
1 jo pasal 8 f, maka instansi baik KUA dan Kantor Catatan Sipil dapat menolak
permohonan perkawinan beda agama berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f
UU No. 1/1974 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, jika dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan
UU ditegaskan bahwa dengan perumusan pasal 2 ayat 1, maka tidak ada perkawinan
di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan pasal
tersebut berarti bahwa perkawinan harus dilakukan menurut hukum agamanya, dan
ketentuan yang dilarang oleh agama berarti dilarang juga oleh undang-undang
perkawinan. Selaras dengan itu, Prof. Dr. Hazairin S.H., menafsirkan pasal 2
ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk
menikah dengan melanggar hukum agamanya., demikian juga bagi mereka yang
beragama Kristen, Hindu, Budha.
Pendapat yang menyatakan bahwa
perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah
tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang
perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk
pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara
dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda
agama.
Pada pasal 1 Peraturan Perkawinan
campuran menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara
orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Akibat kurang
jelasnya perumusan pasal tersebut, yaitu tunduk pada hukum yang berlainan, ada
beberapa penafsiran dikalangan ahli hukum.
Pendapat pertama menyatakan bahwa
perkawinan campuran hanya terjadi antara orang-orang yang tunduk pada hukum
yang berlainan karena berbeda golongan penduduknya. Pendapat kedua menyatakan
bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang berlainan
agamanya. Pendapat ketiga bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara
orang-orang yang berlainan asal daerahnya.
Pendapat yang menyatakan bahwa
perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh
karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda
agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur
dalam undang-undang perkawinan. Berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974, maka semua
peraturan yang mengatur tentang perkawinan sepanjang telah diatur dalam UU No.
1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan
peraturan perkawinan campuran. Artinya beberapa ketentuan tersebut masih
berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974.
C. Pendapat Hukum Terhadap
Perkawinan Beda Agama
Merujuk pada Undang-undang No.
1/1974 pada pasal 57 yang menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah
perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan,
karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia.
Berdasarkan pada pasal 57 UU No.
1/1974, maka perkawinan beda agama di Indonesia bukanlah merupakan perkawinan
campuran. Sehingga semestinya pengajuan permohonan perkawinan beda agama baik
di KUA dan Kantor Catatan Sipil dapat ditolak.
Menurut Purwoto S. Gandasubrata
bahwa perkawinan campuran atau perkawinan beda agama belum diatur dalam
undang-undang secara tuntas dan tegas. Oleh karenanya, ada Kantor Catatan Sipil
yang tidak mau mencatatkan perkawinan beda agama dengan alasan perkawinan
tersebut bertentangan dengan pasal 2 UU No.1/1974. Dan ada pula Kantor Catatan
Sipil yang mau mencatatkan berdasarkan GHR, bahwa perkawinan dilakukan menurut
hukum suami, sehingga isteri mengikuti status hukum suami.
Ketidakjelasan dan ketidaktegasan
Undang-undang Perkawinan tentang perkawinan antar agama dalam pasal 2 adalah
pernyataan “menurut hukum masing-masing agama atau kepercayaannya”. Artinya
jika perkawinan kedua calon suami-isteri adalah sama, tidak ada kesulitan. Tapi
jika hukum agama atau kepercayaannya berbeda, maka dalam hal adanya perbedaan
kedua hukum agama atau kepercayaan itu harus dipenuhi semua, berarti satu kali
menurut hukum agama atau kepercayaan calon dan satu kali lagi menurut hukum
agama atau kepercayaan dari calon yang lainnya.
Dalam praktek perkawinan antar
agama dapat dilaksanakan dengan menganut salah satu cara baik dari hukum agama
atau kepercayaan si suami atau si calon isteri. Artinya salah calon yang lain
mengikuti atau menundukkan diri kepada salah satu hukum agama atau kepercayaan
pasangannya.
Dalam mengisi kekosongan hukum
karena dalam UU No. 1/1974 tidak secara tegas mengatur tentang perkawinan antar
agama. Mahkamah Agung sudah pernah memberikan putusan tentang perkawinan antar
agama pada tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986.
Dalam pertimbangan MA adalah
dalam UU No. 1/1974 tidak memuat suatu ketentuan tentang perbedaan agama antara
calon suami dan calon isteri merupakan larangan perkawinan. Dan hal ini sejalan
dengan UUD 1945 pasal 27 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum, tercakup di dalamnya kesamaan hak asasi untuk
kawin dengan sesama warga negara sekalipun berlainan agama dan selama oleh
undang-undang tidak ditentukan bahwa perbedaan agama merupakan larangan untuk
perkawinan, maka asas itu adalah sejalan dengan jiwa pasal 29 UUD 1945 tentang
dijaminnya oleh negara kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk memeluk agama
masing-masing.
Dengan tidak diaturnya perkawinan
antar agama di UU No. 1/1974 dan dalam GHR dan HOCI tidak dapat dipakai karena
terdapat perbedaan prinsip maupun falsafah yang sangat lebar antara UU No.
1/1974 dengan kedua ordonansi tersebut. Sehingga dalam perkawinan antar agama
terjadi kekosongan hukum.
Di samping kekosongan hukum juga
dalam kenyataan hidup di Indonesia yang masyarakatnya bersifat pluralistik,
sehingga tidak sedikit terjadi perkawinan antar agama. Maka MA berpendat bahwa
tidak dapat dibenarkan terjadinya kekosongan hukum tersebut, sehingga
perkawinan antar agama jika dibiarkan dan tidak diberiakan solusi secara hukum,
akan menimbulkan dampak negatif dari segi kehidupan bermasyarakat maupun
beragama berupa penyelundupan-penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama
serta hukum positif, maka MA harus dapat menentukan status hukumnya.
Mahkamah Agung dalam memberikan
solusi hukum bagi perkawinan antar agama adalah bahwa perkawinan antar agama
dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya
instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami
isteri tidak beragama Islam untuk wajib menerima permohonan perkawinan antar
agama.
Dari putusan MA tentang
perkawinan antar agama sangat kontroversi, namun putusan tersebut merupakan
pemecahan hukum untuk mengisi kekosongan hukum karena tidak secara tegas
dinyatakan dalam UU No. 1/1974.
Putusan Mahkamah Agung Reg. No.
1400 K/Pdt/1986 dapat dijadikan sebagai yurisprudensi, sehingga dalam
menyelesaikan perkara perkawinan antar agama dapat menggunakan putusan tersebut
sebagai salah satu dari sumber-sumber hukum yang berlaku di Indonesia.
Dalam proses perkawinan antar
agama maka permohonan untuk melangsungkan perkawinan antar agama dapat diajukan
kepada Kantor Catatan Sipil. Dan bagi orang Islam ditafsirkan atas dirinya
sebagai salah satu pasangan tersebut berkehendak untuk melangsungkan perkawinan
tidak secara Islam. Dan dengan demikian pula ditafsirkan bahwa dengan
mengajukan permohonan tersebut pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status
agamanya. Sehingga pasal 8 point f UU No. 1/1974 tidak lagi merupakan halangan
untuk dilangsungkan perkawinan, dengan anggapan bahwa kedua calon suami isteri
tidak lagi beragama Islam. Dengan demikian Kantor Catatan Sipil berkewajiban untuk
menerima permohonan tersebut bukan karena kedua calon pasangan dalam kapasitas
sebagai mereka yang berbeda agama, tetapi dalam status hukum agama atau
kepercayaan salah satu calon pasangannya.
Bentuk lain untuk melakukan
perkawinan antar agama dapat dilakukan dengan cara melakukan perkawinan bagi
pasangan yang berbeda agama tersebut di luar negeri. Berdasarkan pada pasal 56
UU No. 1/1974 yang mengatur perkawinan di luar negeri, dapat dilakukan oleh
sesama warga negara Indonesia, dan perkawinan antar pasangan yang berbeda agama
tersebut adalah sah bila dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana
perkawinan itu berlangsung.
Setelah suami isteri itu kembali
di wilayah Indonesia, paling tidak dalam jangka waktu satu tahun surat bukti
perkawinan dapat didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal
mereka. Artinya perkawinan antar agama yang dilakukan oleh pasangan suami
isteri yang berbeda agama tersebut adalah sah karena dapat diberikan akta
perkawinan.
IV.PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian tersebut diatas,
dengan ini penulis kemukakan beberapa hal sebagai kesimpulan, sebagai berikut :
1. Undang-Undang No.1/1974
tentang Ketentuan Pokok Perkawinan, tidak mengatur tentang perkawinan beda
agama. Oleh karena itu perkawinan antar agama tidak dapat dilakukan berdasarkan
pada pasal 2 ayat 1 UU No.1/1974, bahwa perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dan pada
pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan
dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara
perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.
2. Dalam mengisi kekosongan hukum
karena dalam UU No. 1/1974 tidak secara tegas mengatur tentang perkawinan antar
agama, Mahkamah Agung dalam yurisprudensinya tanggal 20 Januari 1989 Nomor:
1400 K/Pdt/1986, memberikan solusi hukum bagi perkawinan antar agama adalah
bahwa perkawinan antar agama dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan
Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan
permohonan yang kedua calon suami isteri tidak beragama Islam untuk wajib
menerima permohonan perkawinan antar agama.
3. Dalam proses perkawinan antar
agama maka permohonan untuk melangsungkan perkawinan antar agama dapat diajukan
kepada Kantor Catatan Sipil. Dan bagi orang Islam ditafsirkan atas dirinya
sebagai salah satu pasangan tersebut berkehendak untuk melangsungkan perkawinan
tidak secara Islam. Dan dengan demikian pula ditafsirkan bahwa dengan mengajukan
permohonan tersebut pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya.
Sehingga pasal 8 point f UU No. 1/1974 tidak lagi merupakan halangan untuk
dilangsungkan perkawian, dengan anggapan bahwa kedua calon suami isteri tidak
lagi beragama Islam. Dengan demikian Kantor Catatan Sipil berkewajiban untuk
menerima permohonan tersebut bukan karena kedua calon pasangan dalam kapasitas
sebagai mereka yang berbeda agama, tetapi dalam status hukum agama atau
kepercayaan salah satu calon pasangannya.
4. Perkawinan antar agama dapat
juga dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia yang berbeda agama dengan
cara melakukan perkawinan tersebut di luar negeri.
B. Saran
a. Perlu rumusan ulang atau
revisi tentang perkawinan antar agama, karena dalam UU No. 1/1974 Tentang Hukum
Perkawinan belum jelas dan tuntas dalam mengatur perkawinan antar agama.
b. Dalam revisi terhadap
Undang-undang Perkawinan perlu kejelasan tentang status hukum bagi mereka
Bahwa dengan ketidak tegasan
pemerintah dalam mengatur perkawinan beda agama sebagaimana tidak adanya aturan
tersebut pada UU No.1/1974, maka bersama ini kami sarankan bahwa : Kesimpulan Perkawinan
hanya sah jika dilakukan menurut hukum agama yang dianut oleh calon pasangan
yang akan melaksanakan pernikahan. Kedua pasangan suami isteri tersebut
menganut agama yang sama.
Jika antara keduanya menganut
agama yang berlainan, maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan, kecuali
apabila salah satunya menganut agama calon lainnya tersebut.Menurut pasal 83
KUHPerdata, perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia, baik antara warga
negara Indonesia dan dengan warga negara lain adalah sah, jika perkawinan
dilangsungkan menurut cara atau aturan negara tersebut dan tidak melanggar
ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata. Kemudian dalam waktu satu tahun setelah
suami-isteri tersebut kembali di wilayah Indonesia, maka perkawinan harus
dicatatkan dalam daftar pencatatan perkawinan di tempat tinggal mereka (pasal
84 KUHPerdata).